Seorang mahasiswa memberikan opininya setelah apa yang ia alami. Mungkin saking kesalnya ia ingin menyampaikan ‘unek-unek’ tentang persepsi mahasiswa tentang dosen yang paling dibenci olehnya .

1. Dosen yang sangat pelit nilai

Mungkin tipe ini adalah yang paling absolut diantara tipe yang lainnya, maksudnya adalah bahwa hampir semua mahasiswa pasti setuju dengan pendapat saya. Siapa sih mahasiswa yang nggak ingin mendapat nilai yang sempurna dan bagus dalam kuliahnya.

Karena tanpa kita sadari bahwa elemen nilai adalah salah satu tolak ukur keberhasilan daya serap mahasiswa terhadap satu mata kuliah. Semakin rendah nilai yang dia peroleh, maka peluang dia menguasai materi tersebut juga mungkin kecil.

Saya nggak habis pikir, bagaimana dosen tipe ini masih bisa eksis sampai sekarang. Bahkan salah satu dosen dikampus saya pernah berujar, bahwa nilai A adalah milik Tuhan, B milik dosen dan untuk mahasiswa adalah C dan D.

Contoh nyatanya adalah satu mata kuliah (HP) di kampus saya semester kemarin dari seluruh angkatan hanya 1 orang yang mendapat nilai A, sisanya anda tahu sendiri. Satu hal yang pasti, popularitas dosen tersebut dimata mahasiswa tentu akan merosot dan menyebabkan namanya paling dibenci mahasiswa. Pelit boleh tapi ada batasnya dong, masa dari 140-an mahasiswa hanya 1 orang yang dapat A. (nggak masuk akal sehat saya).

2. Dosen yang tidak demokratis

Sekarang Indonesia telah memasuki masa demokrasi, dimana pluralisme dan kebebasan berpendapat dan berekspresi semakin dijunjung. Tak hanya di bidang politik, namun juga di bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan, contoh nyatanya adalah seorang dosen dituntut “open-minded” terhadap pendapat mahasiswanya.

Dan kadangkalanya hal itu tidak berlaku pada dosen tertentu, mereka masih saja bersikap otoriter dan diktator, dimana setiap perkataan yang keluar dari mulutnya merupakan sebuah kebenaran mutlak dan semua mahasiswanya harus setuju.

Sedikit saja ada perbedaan persepsi dan pendapat antara dosen dan mahasiswa, dapat dipastikan bahwa nilai mahasiswa tersebut akan turut terpengaruh. Itu jenis dosen yang cukup saya benci. Dalam alam demokrasi dan liberal tidak ada satupun jargon yang benar dalam menyikapi suatu masalah (terutama masalah sosial), setiap orang melihat sesuatu dari sisi yang berbeda, mungkin dosen melihat dari sisi A sedangkan mahasiswa lebih melihat dari sisi B terhadap suatu pokok masalah yang sama.

Kemudian, apakah kita dapat menjudge sesorang salah dan benar? Dan jikalau semua perkataan dosen yang benar, dimana hakekat dari pendidikan? Sehingga ungkapan KBM atau Kegiatan Belajar dan Mengajar tidak lagi relevan, seharusnya diganti saja dengan Kegiatan Mengajar dan Mengajar, tidak perlu belajar.

Biasanya tipe ini dihinggapi pada dosen-dosen tua yang mungkin telah lama hidup pada masa Orde Baru dan telah lulus berkali-kali penataran P4.

3. Dosen yang tidak bisa memisahkan antara hal-hal sakral dan akademis

Pernah ada dulu seorang dosen yang sangat konservatif dan cenderung agak kasar terhadap mahasiswa yang tidak seiman dengan dia. Kata-katanya sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang dosen terdidik seperti dia karena sangat diskriminatif terhadap golongan minoritas.

Jujur saja, saya sangat tidak suka terhadap dosen yang membawa kehidupan religius dia ke dalam kampus. Bagi saya, urusan agama adalah hak dan urusan masing-masing individu. Agama berada di ranah privat sedangkan akademis berada di ranah publik.

Sehingga, menurut saya tidak ada wewenang seorang dosen untuk membawa-bawa masalah agama didalam kampus yang dapat mencederai perasaan golongan minoritas. Seingat saya, sekarang saya kuliah di Universitas Negeri deh, bukan di Universitas Agama tertentu! Banyak orang yang sangat anti dengan sekulerisme, tapi menurut saya sekuler itu perlu untuk memisahkan kita dari urusan duniawi dan agama.

Berbicara mengenai agama di kampus tidak terlarang bagi siapapun, namun tetap dengan batasan tertentu. Dosen tipe ini biasanya tidak pernah mengenyam pendidikan luar negeri dan semasa kecil mungkin di didik dengan ajaran yang kurang tepat.

4. Dosen yang strict (keras dan ketat) terhadap peraturan

Ini merupakan tipe yang sangat subyektif dan mungkin tidak semua mahasiswa setuju karena hanya saya yang merasakannya. Kehidupan kampus merupakan suatu kehidupan yang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan sekolah dulu.

Disini kita diberi sedikit kebebasan untuk menjadi diri kita sendiri, dengan berpakaian bebas, rambut gondrong, aturan absen yang agak longgar dan lain-lain walaupun harus tetap menuruti aturan-aturan yang berlaku. Namun hal ini tidak berbanding lurus dengan beberapa dosen tertentu yang menerapkan aturan yang lebih keras daripada aturan penjara. Keras dan ketat sih boleh saja tapi kalau kelewat batas, jadi nggak ada lagi beda antara dosen dengan sipir penjara.

5. Dosen yang tidak menguasai keadaan kelas

Tipe ini sangat dirasakan mahasiswa ketika mereka harus kuliah di waktu siang hari, belum makan siang dan dalam keadaan mengatuk. Atau disaat sedang kuliah yang dosennya membosankan dan memakan waktu yang lama. Seharusnya seorang dosen harus menguasai keadaan sekitar termasuk keadaan mahasiswa yang sedang diajarnya.

Ketika suasana kelas sudah masuk ke tahap membosankan dan banyak mahasiswa yang mukanya masam, dosen yang bijaksana sebaiknya menghentikan kegiatan belajar mengajar dan bertanya kepada mahasiswa apakah kuliah ini dilanjutkan atau tidak sehingga tidak ada kerugian di kedua belah pihak.

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, suasana didalam kelas yang membosankan akan berdampak negatif terhadap mahasiswa, di satu sisi dosen tidak dapat memberikan pengetahuannya secara maksimal dan disisi lain mahasiswa pasti tidak akan merespon dengan baik transfer of knowledge tersebut. Mahasiswa cenderung akan menyibukkan dirinya sendiri, seperti mengobrol dengan teman, sms-an, otak-atik handphone, menggambar sampai melamun hal-hal yang tidak benar.

Ketika suasana sudah tidak lagi kondusif, maka diperlukan sebuah terobosan baru yang dapat membangkitkan suasana dan itu dapat dilakukan jika si dosen telah berpengalaman.

6. Dosen muda yang sok dan mengira dirinya paling hebat sendiri

Tipe terakhir ini, sebenarnya merupakan alasan mengapa saya membuat tulisan ini. Di kampus saya sendiri terdapat beberapa dosen muda yang umumnya berusia 23 sampai 26 tahun. Dan mereka pun telah mengenyam pendidikan yang cukup mapan seperti lulusan S2 dari Universitas Indonesia atau Universitas Gadjah Mada.

Dari ketiga dosen muda yang semester ini mengajar saya, ada 1 dosen wanita yang sangat tidak populer dimata seorang Dion. Agak takut juga menulis tipe terakhir ini, takutnya nanti dia baca dan tersinggung dan imbasnya nilai saya yang jadi taruhan.

Tapi sekarang jamannya kebebasan, right to speech. Dosen muda ini sangat keras peraturannya, terlambat sedikit masuk kelas, anda bakalan tidak diperbolehkan lagi masuk dan juga sedikit saja anda ketahuan mengobrol (walaupun itu hanya berbisik), maka nama anda yang akan tercemar karena langsung diejeknya dengan makian yang nggak enak didengar telinga.

Jujur, saya mungkin maklum, jika yang melakukannya seorang dosen tua nan senior karena pengalamannya telah banyak, tapi dosen muda yang usianya hanya terpaut 3-5 tahun dari kita, itu yang sangat tidak masuk akal. Memasang tampang sok cool, berbicara panjang lebar dengan memberikan contoh yang panjangnya melebihi penjelasannya itu sendiri, sok galak dengan mahasiswa, adalah sesuatu yang mengerikan bagi saya.

Untungnya tidak semua dosen muda yang seperti dia, 2 orang dosen muda laki-laki justru memiliki sifat yang lebih lemat lembut, pengertian dan sangat student-oriented. Tidak ada perasaan was-was ketika diajar oleh mereka, justru kita mahasiswa merasa bukan sedang diajar oleh seorang dosen melainkan lebih kepada diskusi antar teman.

Dengan terciptanya suasana ini maka, mahasiswa lebih merasa diterima. Yang membedakan antara dosen muda dengan dosen senior adalah sifat pengertiannya terhadap mahasiswa. Dan apabila ada dosen muda yang sok seperti dosen wanita diatas, maka siap-siaplah anda untuk tidak populer dimata anak didik anda. Dan inti dari apa yang diajarkan anda tidak menjadi manfaat bagi mahasiswa.

Itulah tipe-tipe dosen yang paling saya benci selama saya kuliah. Dan sekali lagi tulisan ini merupakan refleksi pribadi penulis dan mungkin tidak semua mahasiswa di planet ini yang setuju dengan keseluruah atau sebagian tipe dosen diatas. Anda yang menentukan sekarang. Make a chooice, mate! Be speak up!

 

Sangat emosional, itulah suara mahasiswa yang selalu berpikir kritis. Namun apakah pemikiran tersebut benar? atau hanya sekedar luapan emosi sesaat?

mahasiswa vs dosen

Dari opini diatas, seorang dosen pun merespon tulisan tersebut. Ia pun juga memberikan tanggapan yang panjang.

Tiap dosen punya cara dan kepribadian yang berbeda sesuai dengan tingkat pendidikan, pengalaman, dan naluri alamiahnya. Perlu kita maklumi bahwa tiap orang punya sisi baik dan sisi yang kurang dan itu adalah anugerah yang Allah SWT berikan kepada masing-masing orang (saya tidak bermaksud bawa2 agama tetapi manusia adalah makhluk ciptahanNya).

Biasanya orang yang punya bakat sebagai pendidik memang lebih cepat beradaptasi dengan bidang pekerjaanya sebagai dosen , apalagi saat sudah berumur akan semakin dewasa, plus jika beliau telah ditempa dalam proses pendidikan dalam jenjang yang lebih tinggi misalnya lulus S3.

Saya juga ingat saat muda bagaimana cara mengajar, perlakukan saya terhadap mahasiswa, gaya dan bobot suara dan lain-lain, saya pikir tidak cukup bijaksana jika diterapkan saat usia saya sekarang dan momentum dunia pendidikan yang makin berkembang.

Sekarang, anak didik adalah partner saya dalam mengajar, berdiskusi, berdebat, menjawab pertanyaan dan bahkan cara/bobot pertanyaan menurut saya perlu dilatih dengan sistem seperti ini. Mahasiswa yang agak pendiam saya pacu agar terpancing dengan suguhan pembicaraan yang saya ajukan kepada dia atau mahasiswa lainnya.

Bagi saya soal nilai adalah suatu kumpulan kemampuan penguasaan materi verbal dan tulisan, sikap, dan kerajinan serta kreativitas mahasiswa. Semua itu adalah proses dan tiap proses perlu waktu. Oleh karena itu kerajinan, kedisipilnan, ketekunan menurut saya tetap penting meskipun tidak harus kaku.

Misalnya kalau terlambat ada kesepakatan berapa menit (anggaplah 15-20 menit) lebih dari itu maka pintu harus ditutup. Sikap tidak disiplin akan terbawa saat anak didik sudah keluar dari sekolah atau telah masuk dunia kerja dan sikap itu akan terbawa terus, tentu saja hal ini akan merugikan alumni itu sendiri.

Selamat belajar, belajarlah memahami terhadap hal-hal yang tidak sepaham. Tugas utama mahasiswa adalah belajar sesuai bidang dan lembaga yang dipilihnya, bukan mengamati dan membandingkan serta kelemahan pendidiknya. Itu tanggapan saya, pendapat saudara saya hargai, semoga setelah nanti anda dewasa dan sukses pasti pendapat sekarang akan bergeser…waktu akan membuktikan…hehe..

 

Tanggapan super!!! Sebuah diskusi menyampaikan pendapat memang tak harus siapa yang menang dan siapa yang kalah. Diskusi lebih baik untuk kemajuan bersama, bukan untuk memecah belah satu sama lainnya. (shr)