Banyak pedangang di pasar tradisional seperti di Tanah Abang mengeluhkan penjualan mereka menurun drastis.

Kemudian banyak orang menyarankan untuk ikut go digital, yaitu dengan cara jualan online seperti marketplace atau e-commerce.

Memang benar, seharusnya mengikuti perkembangan jaman. Namun bagi mereka, itu bukan hal yang mudah.

Bukan tanpa upaya, sebenarnya beberapa dari pedangan offline telah mencoba menerapkan go digital. Hanya saja tak memberikan hasil yang signifikan.

Misalnya toko yang di Tanah Abang biasanya mendapatkan pelanggan dari berbagai kota di seluruh Indonesia.

Salah satunya adalah Ibu Siti, seorang pedangang pakaian yang ada di Batam. Sudah beberapa tahun, ia sering datang langsung ke Tanah Abang untuk kulakan baju.

Namun akhir-akhir ini, ia kesulitan untuk menjual lagi ke konsumen karena persaingan harga yang mulai tidak masuk akal.

Ibu Siti memang mendapatkan harga terbaik di Tanah Abang karena sudah rutin berlangganan dan dengan kuantiti yang besar juga.

Namun banyak produk yang mirip dengan yang ia jual di marketplace seperti shopee, tiktok shop dan tokopedia dengan harga yang sangat miring.

Tidak mungkin Ibu Siti menjual semua produknya dengan harga yang sama dengan kompetitor. Karena harga ecer yang dijual kompetitor lebih murah dengan harga kulakan di Tanah Abang.

Usut punya usut ternyata beberapa item yang dijual kompetitor adalah produk impor dari China.

Akhirnya Ibu Siti tidak berharap besar dengan penjualan online, cukup dengan mengoptimalkan penjualan di toko fisiknya.

Sedangkan pedagan di Tanah Abang, mereka sudah mencoba melakukan beberapa cara dalam penjualan online. Seperti melakukan live streaming untuk dagangan mereka di platform social-commerce.

Lagi-lagi, mereka dilindas oleh produk import yang harganya murah meriah. Sedangkan produk Tanah Abang kebanyakan berasal dari beberapa daerah lokal, dimana bahan baku dan proses produksi sebenarnya masih tergolong murah.

Tidak masuk akalnya adalah harga di Tanah Abang sudah relatif murah, tapi produk import China murahnya kebangetan.

Selain itu, jualan online juga ditemui persaingan ketat lainnya. Jika ekosistem dagang jaman dulu, ada produsen besar kemudian ke distributor, agen besar, agen kecil, dan pengecer. Nah, sekarang siapapun bisa terjun langsung memasarkan produknya di online shop. Dari agen yang menjual ecer sampai sebuah PT pabrik besar melayani penjualan ecer dengan harga pabrik.

Adalagi tantangan berikutnya ketika jualan online, pemain baru haru lebih dalam mempelajari bagaimana syarat dan ketentuan jualan di marketplace.

Misalnya, penjual baru yang belum terjual sampai bebera item, mereka akan tetap mendapatkan pemasukan sama dengan produk yang ia jual.

Namun penjualan berikutnya mereka akan mendapat potongan sampai dengan 10.1% jika mengikuti program-program pemikat konsumen.

Lama-kelamaan, sebuah marketplace memiliki algoritma yang unik. Yaitu produk yang tadinya banyak diminati, kemudian akan perlahan tidak terekspos dan susah ditemukan oleh calon pembeli.

Pada akhirnya, pihak marketplace merekomendasikan para penjual untuk membeli kredit iklan di marketplace tersebut supaya produk bisa muncul lagi.

Tentu ini harus mempertimbangkan lagi soal biaya, tenaga, dan pikiran yang tak semudah orang bayangkan.

Pemain besar dengan modal miliaran saja masih mengatur strategi bagaimana mendapatkan profit walaupun hanya seuprit. Lantas bagaimana dengan nasib penjual dengan modal seadanya jika memasuki ranah jualan online?

Tidak ada yang mustahil.

Sulit memang, tapi ada caranya.

Next post mediamuda.com akan membahal Go Digital lebih detail dan membagikan bagaimana trik-trik berjualan secara online.