Sebagai guru seharusnya bisa memancing anak didiknya untuk bisa berkembangan dengan banyak inovasi dan kreatifitas, namun apa jadinya juga “guru” merupakan sebuah profesi untuk mencari sesuap nasi, bukan sebuah dedikasi.
Salah seorang kepala sekolah Lilik Nurcholis, Kepala SMP2 Bawen Kabupaten Semarang, Fasilitator MBS USAID PRIORITAS Provinsi Jawa Tengah memberikan pendapatnya di Suara Merdeka dengan judul : “Mengusik Zona Nyaman Guru” :
Berada di zona nyaman bisa membuat setiap orang terlena, bahkan bisa jadi lupa diri dan tidak peduli terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya, ketika zona nyaman itu terusik menjadi galau. Demikian juga dengan guru golongan IVa dan bersertifikasi.
Selama ini, mereka merasa nyaman hingga bertahun-tahun berhenti di golongan itu bahkan sampai pensiun. Hanya sebagian kecil yang mau usaha untuk naik ke golongan IVb. Umumnya bagi mereka yang berhenti di golongan IVa terbentur dengan ketentuan harus memiliki nilai pengembangan profesi berupa karya tulis ilmiah (KTI) dalam pengajuan angka kreditnya (PAK).
KTI selama ini dirasa sesuatu yang sangat sulit dilakukan guru. Karenanya, sangat sedikit guru yang memiliki golongan IVb. Seakan-akan, golongan IVa adalah terminal untuk kenaikan golongan dan banyak dari mereka yang selanjutnya parkir di sana. Diberlakukannya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Guru dan Angka Kreditanya mulai 1 Januari 2013 telah mengusik zona nyaman guru yang golongan IVa. Banyak guru akhirnya menjadi galau karena apabila tidak bisa memenuhi tuntutan peraturan itu akan mendapat sanksi yang bisa menghilangkan tunjangan profesi.
Saat ini, tunjangan profesi guru merupakan tambahan penghasilan yang telah mengangkat ekonomi guru menjadi lebih layak sehingga tidak heran kalau guru menjadi galau jika harus kehilangan tunjangan profesi. Jika 1 Januari 2013 sebagai titik tolaknya dan lima tahun sebagai batas akhirnya, maka ini adalah tahun ketiga kegalauan itu telah dirasakan tetapi sampai saat ini juga belum banyak yang bergerak dari zona nyaman itu. Permanpan RB mewajibkan guru melakukan publikasi ilmiah (PI) mulai kenaikan golongan III b menuju III c. Jika disadari, sesungguhnya peraturan itu adalah tuntutan untuk meningkatkan kompetensi di era global berteknologi IT (Information and technology) seperti saat ini.
Dalam kenyataannya, banyak guru yang berada di zona nyaman kompetensinya kurang di bidang IT terlebih bagi mereka yang sudah berusia mendekati pensiun. Tuntutan profesionalisme saat ini mengharuskan semua orang menguasai IT, tidak gaptek (gagap teknologi), selalu meng-up date informasi terkini dan siap melalukan perubahan. Demikian juga dengan guru. Guru merupakan fasilitator, dinamisator dan inovator dalam pembelajaran, maka sudah harusnya berada di barisan terdepan dalam penguasaan IT. Namun, banyak di antara mereka yang jauh tertinggal dibanding dengan siswanya karena tidak siap menerima perubahan zaman. Akibat selanjutnya, banyak pengetahuan yang dimiliki guru telah kedaluwarsa. Guru yang hanya mengandalkan bekal pengetahuan yang didapat saat akan sangat ketinggalan. Saat ini, ilmu pengetahuan telah berkembang dengan pesat dan dapat diakses dengan mudah melalui internet oleh siswa, maka tidak mengherankan jika guru tidak meng-up date ilmu pengetahuannya mereka tertinggal jauh dari siswanya.
Untuk bisa meng-up date informasi terikini guru harus mau berubah, bergerak dari zona nyaman. Memiliki dan menguasai gadget jangan diartikan sebagai gaya hidup tetapi lebih bermakna sebagai tuntutan kebutuhan untuk berubah. Dengan gadget yang dimilki guru dapat meng-up date informasi terkini untuk apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Memiliki akun media sosial merupakan kebutuhan guru berikutnya yang harus dipenuhi.
Dengan akun yang mereka miliki, guru akan lebih cepat berbagi informasi dan berkomunikasi dengan yang lain. Selain itu, dapat sharing untuk berbagai pengetahuan maupun inovasi dalam pembelajaran yang bermanfaat untuk peningkatkan kompetensi profesionalisme dan pedagogik. Kedua kompetensi tersebut merupakan modal utama bagi guru untuk Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) terutama untuk publikasi ilmiah. Dengan akun itu juga KTI yang dihasilkan dapat dikirim ke mana saja untuk dipublikasikan sehingga tidak ada alasan bagi guru untuk tidak dapat membuat PI dalam era tehnologi seperti saat ini.
Pepesan Kosong Kegalauan dapat mengakibatkan penderitaan pada seseorang, namun penderitaan itu tidak selalu berarti kesedihan dan kepiluan bagi orang lain bisa saja menjadi sumber rezeki bagi yang lainnya. Bahkan secara ekstrem berlaku dalam kehidupan sehari-hari deritamu adalah rezekiku. Bukti nyatanya, di mana ada penderitaan di situ ada ladang rezeki. Demikian juga dengan derita yang dialami oleh sebagian guru karena pemberlakuan Permenpan RB itu.
Bagi guru yang tidak mampu membuat KTI mereka menjadi galau karena peraturan mempersyarakan PI atau karya inovatif (KI) dalam bentuk KTI untuk pengajuan Penetapan Angka Kredit (PAK). Kegalauan itu akan direspons positif bagi orang lain sebagai peluang untuk mendapatkan tambahan rezeki. Kita pasti masih ingat pengalaman beberapa tahun silam saat awal sertifikasi guru diberlakukan dengan sistem portofolio atau Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Untuk menghindari PLPG, maka banyak guru berusaha mengumpulkan dokumen portofolio dengan berbagai cara sehingga banyak dokumen portofolio aspal (asli tapi palsu) bahkan benar-benar palsu. Hiruk-pikuk guru untuk mendapatkan dokumen portofolio berupa sertifikat seminar direspons positif oleh sebagian orang dengan menyelenggarakan berbagai seminar baik tingkat nasional maupun internasional. Undangan seminar laris manis dalam sekejap dibeli guru. Sungguh sangat menggembirakan, antusiasime guru untuk membeli undangan seminar. Namun sangat disayangkan, saat seminar berlangsung kursi undangan yang disediakan lebih banyak yang kosong daripada yang terisi. Materi seminar tidak lagi penting bagi guru, yang lebih penting adalah sertifikat seminar untuk dokumen pendukung portofolio. Dengan demikian, harapan pemerintah untuk peningkatan kompetensi guru melalui keikutsertaannya dalam seminar hanyalah pepesan kosong belaka. Kegalauan guru yang tidak mampu untuk membuat KTI inipun juga direspons positif oleh yang lain. Tidak sedikit orang menawarkan jasa konsultasi, bimbingan bahkan pembuatan KTI baik berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK), aritikel, bahkan pembuatan hingga pemuatan naskah artikel dalam jurnal ber-ISSN (International Standart Serial Number) serta penerbitan buku ber- ISBN (International Standart Book Number) dengan tarif tertentu. Jika fenomena ini tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah, maka apa yang terjadi pada pemberian sertifikat guru profesional melalui portofolio aspal akan terulang dalam penetapan angka kredit guru dalam jabatan dengan KTI dan PI aspal. Peningkatan kompetensi guru yang semula menjadi tujuan penerapan Permenpan RB tersebut menjadi isapan jempol belaka.