By : Jurnalistik UPH

Siang terik dengan udara yang panas tidak menghalangi pekerjaannya. Bau besi karatan, botol-botol bekas, kardus serta koran berserakan adalah sahabat setiap hari untuk menyambung hidup keluarga. Tubuhnya tinggi dan kurus, rambutnya yang lurus serta kulitnya hitam mencerminkan seorang yang hidupnya tidak mudah. Wajah sayunya lebih tua dibandingkan usia sebenarnya.

pekerjaan yang menjijikkan

Nama aslinya adalah Sunar, tetapi karena anak laki-lakinya bernama Riski, maka ia sering dipanggil Pak Riski. Nasib membawa Pak Riski pada pekerjaan kotor itu. Pemulung atau tukang rosok adalah sebutan untuk pekerjaannya. Sebelum menjadi tukang rosok, ia bekerja serabutan. Penghasilan setiap hari tidak tetap dan selalu kekurangan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

Kehidupan keluarga kecilnya masih menumpang di rumah mertua, karena pekerjaan yang tidak tetap maka penghasilan uang yang diperoleh hanya sedikit. Uangnya tidak cukup untuk membangun rumah sendiri. Kondisi rumah mertuanya pun tak jauh beda, penuh dengan kekurangan.

Di desa tempat tinggalnya, sudah menjadi suatu tradisi jika seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap maka solusinya adalah merantau. Harapannya adalah bisa merubah nasib dan sukses. Melihat dari tetangga sebelahnya yang sukses transmigrasi dan kini sudah menjadi juragan sawit yang terkenal, keinginan merantau itu semakin kuat.

Melalui sebuah agen, berangkatlah keluarga Pak Risky merantau ke Sumatra, tepatnya di Bengkulu. Akan tetapi belum genap tiga bulan berada di pulau itu, ia harus kembali ke rumah. Tempatnya hidup di pedalaman Bengkulu berdekatan langsung dengan penduduk asli Bengkulu. Mereka sangat tidak suka dengan kehadiran transmigran. Ketika malam, rumah-rumah para transmigran dijarah. Barang-barang seadanya diambil oleh penduduk setempat. Hidup yang diwarnai ancaman setiap hari itulah yang membuat keluarga Pak Riski kembali ke Jawa.

Mimpi untuk sukses dan merubah masib sudah kandas. Kerugian semakin dirasakan oleh Pak Riski. Uang untuk biaya keberangkatan merantaunya tidaklah sedikit, belum kembali modal untuk menutupi biaya tersebut, ia sudah kembali lagi ke rumah tanpa hasil apapun.
Gerakan kristenisasi melalui iming-iming yang menggiurkan membuat Pak Riski murtad. Demi sembako dan kebutuhan hidup lainnya, ia rela menggadaikan agama Islam yang selama ini ia yakini.

Tak lama, kehidupan miskin kembali ia alami. Fasilitas dari gerakan kristenisasi tidaklah menjamin kehidupan lebih baik, karena semua fasilitas yang dulu diberikan tidak berlangsung lama. Suatu sore, Pak Riski datang ke rumah Pak Takmir masjid, kunjungan ke rumah tersebut sebenarnya untuk mengurus Kartu Keluarga mengenai perpindahannya yang hanya sebentar dari Sumatra kembali ke Jawa. Pak Takmir masjid adalah dukuh di desanya.

Laki-laki 37 tahun ini menceritakan kesusahan hidupnya pada Pak Takmir masjid. Sepertinya hidup ini tidak pernah berpihak pada Pak Riski. Di sela-sela perbincangan dengan Pak Takmir itu, ia ingin kembali lagi menjadi seorang muslim. Pak takmir sangat senang dengan keputusan Pak Riski untuk kembali menjadi seorang muslim dan dengan saran-sarannya berharap bisa merubah kehidupan warganya itu.

Maka Pak Takmir menyarankan suatu pekerjaan untuknya. Pekerjaan yang orang lain tidak mau menekuni. Mungkin karena orang-orang enggan bersentuhan dengan sesuatu yang bau, jorok, dan bekas. Pekerjaan baru yang ditekuni ini belum ada di desanya yaitu sebagai tukang rosok atau pemulung. Pada awalnya Pak Riski seperti orang-orang lain, tidak mau menerima pekerjaan yang diusulkan oleh Pak Takmir masjid. Malu rasanya bekerja seperti itu, sama saja dengan memungguti barang-barang yang orang lain sudah tidak mau memakainya lagi.

Hidup dengan modal gengsi tidak akan kenyang, itu adalah nasehat dari Pak Takmir masjid. Selama suatu pekerjaan halal dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga, kenapa harus gengsi melakukannya. Melalui perbincangan dan nasehat-nasehat Pak Takmir, akhirnya Pak Riski mau menekuni pekerjaan itu. Akan tetapi permasalahan muncul ketika usahanya tersebut tidak mempunyai modal. Pak Takmir dengan senang hati meminjamkan uangnya untuk modal pekerjaan baru Pak Riski tersebut.

Bapak satu anak ini adalah orang pertama di desanya yang mau mengelola barang-barang rosok. Awalnya pekerjaan ini di pandang sebelah mata. Seperti halnya Pak Riski yang awalnya meremehkan pekerjaan barunya itu. Akan tetapi karena tidak ada pesaing yang mengelola rosokan, pekerjaan menjijikkan ini menjadi sesuatu yang sangat menjanjikan.

Barang-barang rosok yang dikumpulkan beberapa minggu dijual ke pengepul. Penghasilan yang lumayan ini ditabung sedikit demi sedikit. Barang-barang rosok yang didapat tidak semuanya langsung dijual, tetapi terlebih dulu ada yang dibenahi dengan harapan nilai jualnya lebih tinggi. Misalnya sepeda bekas yang dibeli dengan harga Rp. 30.000 setelah diperbaiki dan di cat ulang bisa laku dengan harga Rp. 300.000.

Semakin hari, pekerjaan ini bisa membuat perubahan pada kehidupan Pak Riski. Terbukti dengan rumahnya kini baru dengan toko klontong yang tak pernah sepi pembeli. Dan di samping kanan rumah barunya terdapat bengkel kecil-kecilan. Dua tahun menjalani pekerjaan tukang rosok dan menjadi sukses tidak membuat Pak Riski lupa dengan Allah. Tak pernah lagi ia menggadaikan agamanya.

pemulung

Panas terik dengan bau barang bekas kini diwarnai dengan senyum Pak Riski. Ini adalah jalan rejekinya. Ditemani sepeda motor baru dari hasil menabung, Pak Riski mendatangi rumah-rumah dan pasar untuk menjalankan pekerjaannya. Tak ada lagi guratan-guratan tua di wajahnya. Senyum telah menghapus kesedihannya.