Pemerintah secara resmi telah mengizinkan investor asing untuk berinvestasi 100% di Industri perfilman. Revisi ini diputuskan pemerintah dalam Paket Ekonomi ke-10 (16/2/16). Namun, pemerintah tetap memberi syarat 60% film yang ditayangkan film dalam negeri.
Pemerintah berharap dengan kebijakan ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di bidang industri film yang saat ini hanya dikuasai oleh empat perusahaan.
Masuknya investor asing juga diharapkan tidak hanya terpusat di Pulau Jawa saja, melainkan sanggup melebar ke beberapa daerah lainnya di Indonesia.
Daftar Negatif Investasi
Pemerintah didesak untuk segera ketuk palu soal revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) sektor bisnis perfilman yakni dalam bidang produksi, distribusi, dan eksibisi..
Para pelaku industri film Tanah Air, baik itu aktor, sutradara, produser, hingga pemerhati film banyak yang setuju dengan kebijakan tersebut. Akan tetapi mereka memberikan beberapa batasan.
Manoj Punjabi
CEO MD Corp & Ketua Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) Manor Punjabi menekankan untuk lebih agresif dan proaktif menjual karya anak negeri agar dilihat dunia.
“Satu-satunya cara mendapatkan 20 juta penonton dari satu judul film nasional adalah menambah jumlah layar bioskop di Indonesia. Saat ini, 1.117 layar sangat tidak bisa memfasilitasi penonton potensial di Tanah air. Minimal harus sekitar 3.000-5.000 layar.
Untuk merealisasi semua ini, kita harus lebih agresif dan proaktif menjual karya anak negeri agar dilihat dunia. Caranya dengan membuka hubungan seluas-luasnya dengan dunia luar. Untuk itu, kita perlu membangun jembatan. Salah satunya dengan membuka DNI.”
Sheila Timothy
Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) Sheila Timothy menganggap kebijkanan Revisi Daftar Negatif (DNI) memacu pelaku perfilman indonesia lebih kreatif.
“Usulan pemerintah merevisi kebijakan tentang DNI memberikan kesempatan pada produser film Indonesia dan tenaga kerja kreatif Indonesia, tidak hanya pada akses pembiayaan dan penambahan layar, tetapi juga peningkatan standar dan kapasitas melalui transfer pengetahuan dan teknologi.”
Lasja Soesatyo
Ketua Indonesian Film Directors Club (IFDC) Lasja Soesatyo berharap regulasi untuk kepentingan industri film agar tetap terpelihara.
“Jika serius ingin membangun industri film Indonesia, usaha perfilman harus dicabut dari Daftar Negatif Investasi. Tentu saja serentetan regulasi dan langkah-langkah berikutnya harus dibuat dan dijalankan agar kepentingan industri film indonesia tetap terjaga dan terus bisa berkembang”.
Lukman Sardi
Aktor & Ketua Rumah Aktor Indonesia (RAI) Lukman Sardi tidak merasa khawatir dengan investor asing, justru merupakan peluang untuk go international.
“Adanya investor asing untuk industri film indonesia buat para aktor bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan, karena dengan begitu para aktor akan punya adrenalin tinggi untuk meningkatkan diri dan justru membuka peluang untuk para aktor bersaing di dunia international. Tentunya, ini akan memberikan kontribusi lebih dalam memperkenalkan Indonesia di industri perfilman dunia.”
Joko Anwar
Sutradara Joko Anwar menyambut baik kebijakan ini, karena modal yang besar sebanding dengan kuantitas film yang dibuat.
“Investasi asing di perfilman nasional akan memungkinkan lebih banyak film dengan berbagai tema untuk dibuat, termasuk film-film yang bertema budaya lokal, yang selama ini tidak mendapat modal”.
Nia Dinata
Sutradara Nia Dinata berharap pada peningkatan modal untuk film Indonesia.
“Penanaman modal untuk film indonesia harus ditingkatkan. Cabut Daftar Negatif Investasi film dengan didukung oleh perangkat peraturan yang jelas, sehingga pengusaha lokal dapat semakin berkembang”.
Angga Dwimas Sasongko
Sutradara & CEO PT Visinema Pictures Angga Dwimas Sasongko menilai permodalan adalah kunci dari pertumbuhan industri dan nilai keekonomian perfilman Indonesia.
“Kebijakan mencabut usaha perfilman dari DNI harus dilihat dari konteks ekonomi. Permodalan adalah kunci dari pertumbuhan industri dan nilai keekonomian perfilman Indonesia.
Peluang kerjasama dengan institusi investasi akan meningkatkan kedisplinan industri dalam mengelola modal serta akuntabilitas industri. Selain itu juga meningkatkan daya saing konten film Indonesia dalam skala regional maupun global.”
Hanung Bramantyo
Pimpinan Rumah Produksi Dapur Hanung Bramantyo menganggap kebijakan pemerintah adalah sebuah tantangan bisnis di industri perfilman.
“Justru dicabutnya DNI di usaha bioskop akan menempatkan para kreator film di Indonesia berada selevel dengan para kreator film dari mancanegara. Tidak ada alasan para pelaku di industri film untuk menolak dibukanya DNI. Baginya, yang menolak DNI justru orang yang tidak punya rasa percaya diri karena takut bisnisnya terancam.”
Investor Abu Dhabi Minat Investasi Layar Bioskop di Indonesia
Investor Abu Dhabi berminat menanamkan modal di bidang pertunjukan film (bioskop) di Indonesia. Nilai investasi ditaksir mencapai Rp 18 miliar per layar.
Perusahaan yang minat berinvestasi merupakan anak usaha konglomerasi dari 80 perusahaan menengah besar dan menengah di Abu Dhabi.
Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan, ketertarikan investor untuk menanamkan modal didasari rencana pemerintah membuka 100 persen bidang perfilman untuk asing.
“Mereka melihat ini sebagai peluang investasi yang menjanjikan. Ini mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar,” ujar dia dalam keterangan pers, Jakarta, Jumat (1/4/2016).
BKPM merespons positif keputusan tersebut. Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif saat ini Indonesia hanya mempunyai 1.000 layar (screen) dan tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebanyak 240 juta jiwa. Angka itu jauh dibandingkan Beijing, China yang memiliki 5.000 layar hanya dengan jumlah penduduk yang sedikit.
“Beijing dengan jumlah penduduk sekitar 15 juta memiliki 5.000 screen. Kita tidak perlu sama dengan Beijing tapi minimal Indonesia mempunyai 5.000 6.000 screen untuk memenuhi kebutuhan tersebut,” imbuh dia.
Pejabat Promosi Investasi kantor perwakilan BKPM di Abu Dhabi Agus Prayitno mengatakan, jika perusahaan tersebut belum menjelaskan secara detil nilai investasi. Namun, jika diperkirakan nilainya mencapai Rp 18 miliar perlayar.
“Mereka belum menentukan berapa titiknya. Namun, nilai investasi untuk membangun satu screen secara terpadu mencapai AED 5 juta atau sekitar Rp 18 milyar di Abu Dhabi,” kata dia.
Pihaknya mengatakan, akan terus mengawal minat tersebut sampai investasi benar-benar terealisasi. “Kami akan memantau minat investasi dan memfasilitasi perusahaan untuk merealisasikan investasinya,” tandas dia.
Sebagai informasi, negara Timur Tengah merupakan negara yang cukup aktif dalam investasi di Indonesia. Data BKPM tahun 2015 menyatakan rencana investasi Iran berada diurutan 8 dengan nilai Rp 50 triliun, Yordania dia peringkat 16 dengan rencana investasi Rp 3,3 triliun, Uni Emirat Arab peringkat 19 dengan rencana Rp 2,5 triliun.
(hrz/ref:tempo, kompas, marketers, liputan6)