Ayomaju.info, flash-back 2013 ketika harga Premium Rp 4.500 dan Pertamax 9.000.

Kaget, itulah yang pertama kali kami rasakan ketika hampir di setiap jalur yang kami lewati selalu saja melihat BBM atau bensinĀ  premium habis. Padahal tak jauh dari lokasi, begitu banyak para pengecer bensin yang leluasa menjual dengan harga jauh lebih mahal.

begal sumatra bensin eceran bbm

Berangkat menggunakan minibus dari Merak menuju ke sebuah tempat di pulau Sumatera pastinya kami harus mengisi setidaknya 1-3 kali mengisi bahan bakar. Ketika bensin menipis, berniat mampir ke sebuah pom bensin yang ada di sebelah kanan jalan. Sayang sekali, tertulis disana PREMIUM HABIS. Akan tetapi, apa yang kita lihat disisi kiri jalan nampak beberapa pengecer bensin dengan ratusan botolnya berjejer. Aneh, bukan?

Rasanya masih cukup untuk ke SPBU berikutnya, namun ternyata setelah melewati puluhan kilometer, sama saja, habis. Terpaksa kami mengisi dengan pertamax yang lebih mahal, itupun hanya beberapa liter saja untuk menempuh jarak 20 km-an. Mungkin di SPBU berikutnya tersedia bensin premium.

Di dalam mobil, kami sempat ngobrol sebenarnya apa yang terjadi sambil mengamati begitu banyaknya pengecer bensin tapi di SPBU malah kosong. Salah satu dari kami juga mengatakan “gimana kalau pom bensin depan habis juga? apa kita isi pertamax full? anggaran cukup nggak?”.

Dan benar saja, lagi-lagi kami kehabisan premium di SPBU yang kami tuju. Di dekat situ, ada seorang pengecer bensin dan kami tanya berapa harga per botol nya. Ia pun membanderol dengan harga yang lebih tinggi dari pada pengecer biasa saat itu. Karena segan, kami pun hanya mengisi beberapa botol saja untuk lanjut ke SPBU berikutnya. Dan kami pikir, lebih baik gunakan pertamax saja.

Bertemu Tokoh Setempat

Dimulai dengan pembicaraan ringan, akhirnya kita dapat menanyakan apa yang sebenarnya terjadi soal bahan bakar Premium dimana para pengecer leluasa menjual sedangkan SPBU habis.

Beliau pun tak keberatan menceritakan apa yang telah menjadi tradisi di sekitar daerah yang kami lewati. Hal ini terkait dengan preman atau mafia yang ditakuti oleh pengusaha SPBU maupun para sopir pengangkut BBM.

Walaupun pemerintah telah menerapkan peraturan dilarang membeli / menimbun BBM dalam jerigen besar, disitu tak ada yang menghiraukan. Apalah daya boss SPBU, penjaga, ataupun sopir truk yang membawa Premium. Mereka tak berani untuk melawan, apalagi keamanan mereka tidak ada yang menjamin.

Tradisi ini sudah berlangsung cukup lama, meskipun tidak berlangsung setiap hari, peristiwa seperti ini sudah dianggap wajar oleh masyarakat sekitar dan menjadi peluang bisnis bagi mereka.

Ada beberapa kelompok dari mereka yang menjadi ‘backing’ para pengecer tersebut. Jika ada spbu yang tidak mau menjual kepada mereka, spbu tersebut terancam keamanannya.

Permasalahan yang terjadi mungkin tidak jauh dari faktor ekonomi. Terlebih lagi, sudah banyak orang yang mengatakan bahwa di daerah yang kami lewati memang sudah terkenal banyak begal.