Ada lebih dari Rp 100 Triliun uang beredar dalam kepentingan pemilu. Itu uangnya siapa? Saya tak bisa jawab.

Bisnis percetakan cenderung mengalami peningkatan order, terutama bagi mereka yang memiliki modal besar dan mau mengikuti arus ‘jalan pintas’.

Saya bergerak di bidang advertising & printing, pemilu 2019 boleh dikatakan pelajaran buat saya bahwa tak sedikit tim sukses/purchasing parpol berotak culas.

Cuan sih iya, tapi keberkahan usaha terasa hilang ketika ada praktek nota siluman atau nota kosong yang bisa diisi oleh pembeli. Itu artinya praktik korupsi bukan hanya dilakukan oleh pejabat, tapi menjalar juga sampai ke para cecurut.

Percetakan Pemodal Besar

Rata-rata cetak per meter banner flexi china di Indonesia adalah Rp 35rb. Namun jika mencari dimana cetak banner paling murah di dunia ada di area Jabodetabek.

Ketika ada yang pasang harga Rp 20rb per meter, beberapa pemain percetakaan sudah geleng-geleng kepala karena itu sudah termasuk banting harga untuk tahun 2023/2024.

Dan yang sangat mengagetkan, saya melihat ada sebuah pamflet yang nempel di pohon, sebuah percetakan yang harga hanya Rp 13rb.

Tentu, ia bukan pemain yang memiliki modal kecil. Bagi pemilik usaha banner yang kecil, untuk belanja bahan baku dan tinta yang dipakai, harga tersebut belum cukup.

Pemain kecil hanya mampu membeli bahan flexi hanya beberapa roll saja dan harganya pun masih standar. Sedangkan pemain besar, biasanya mereka memiliki akses kunjungan, apalagi memiliki rekan atau saudara di China.

Order dengan jumlah sangat besar dan pengiriman bisa diatur sendiri, tentu ini menjadikan harga jauh lebih murah yang hampir mustahil dilakukan oleh pemodal kecil.

Pada akhirnya, pemodal besar mendapatkan order dengan jumlah fantastis. Walaupun profit tiap piece nya hanya seribu perak, tapi dikali jutaan pieces, sudah dapat profit dengan nominal miliaran rupiah. Begitulah cuan mudah pemodal besar dengan relasi ok.

Percetakan Pemodal Kecil

Percetakan dengan modal yang seadanya, tidak menjadi masalah bagi mereka yang lihai melihat peluang. Tapi untuk melayani customer dalam keperluan kampanye, mau nggak mau harus pasang harga murah juga.

Cara haram:

Jalan pintas lainnya adalah dengan menghalalkan yang haram. Yakni dengan memanipulasi harga. Biasanya yang order ke percetakan adalah bagian purchasing atau pihak yang disuruh si caleg atau capres atau calon apa ajalah… Walaupun harganya 20rb, nanti notanya dibikin 25rb. Misal pesan 1000pcs, percetakan mendapat profit, purchasing dapat uang panas 5jt; nota 25jt, bayar ke percetakan cuma 20jt. Begitulah prakteknya.

Cara halal:

Pasang harga agak murah jika memang mau melayani kebutuhan kampanye ini. Siapkan juga mesin dan tinta yang lebih murah juga supaya hpp masuk, intinya cost dibikin hemat. Jika mereka minta nota kosong atau manipulasi harga, tolak dengan halus. Opsinya, nota tetap sesuai yang dijual, mungkin pengusaha percetakan cukup memberi bonus sepantasnya saja sebagai hadiah bukan sebagai sogokan maksa supaya order

Jika memang belum rezekinya dapat pelanggan dari partai politik, tidak masalah.

Biasanya ketika banyak percetakan sedang penuh karena parpol, kebutuhan cetak lembaga swasta, kampus, komunitas, personal biasanya terbengkalai. Nah, percetakan pemodal kecil bisa mendapatkan orderan dari mereka dengan harga normal.

Tahun politik cenderung akan lebih banyak uang yang beredar di masyarakat, disebut juga pesta rakyat. Namun bagi kalian yang tidak kecipratan, jangan bersedih. Banyak hal lainnya yang bisa menjadi ladang rezeki kita.

INTERMEZZO

Jujur saya, saya sebagai pemain percetakan degan modal kecil (tadinya cukup besar dan rugi setelah kena tipu), saat ini tidak mengharapkan terlalu besar orderan dari partai politik. Justru saya lebih kalem menjalani bisnis ini tanpa bermain trik sesat dan serakah.

Misal saya ikut mencetak banner salah satu caleg, dan beberapa tahun berikutnya dia tertangkap korupsi. Dalam hati saya, saya ikut andil dalam usaha si caleg melakukan korupsi.

Politik adalah uang, seperti dagang, mereka rela mengeluarkan modal uang yang besar, bagaimana caranya uang harus balik, itulah money politik yang kotor.

Tahun 1997, saya sangat antusias dengan adanya pemilu. Saat itu hanya ada 3 partai PPP, Golkar, dan PDI. Para simpatisan PPP saat itu rela mengeluarkan uang pribadi untuk membeli atribut seperti kaos dan bendera. Termasuk saya yang dengan senang hati menggunakan tabungan untuk beli kaos PPP supaya mengikuti pawai. Sampai pada tahun 1999 juga seperti itu, saya membeli kaos sendiri, kali ini PKB karena sangat mendukung Gus Dur.

Namun setelah Gus Dur lengser, saya hanya melihat dunia politik sudah sangat berbeda. Isinya lebih cenderung soal uang-uang-dan-uang. Tahun 2004 – sekarang, ketika orang-orang menujukkan jari dengan tinta bukti sudah mencoblos, saya hanya menujukkan tinta warna CMYK di telapak tangan saya karena sedang service printer.