Kebanyakan anak muda Indonesia lebih memilih untuk berada di zona nyaman. Itu artinya sebagian besar masih dengan pola pikir untuk bekerja, bukan untuk membuka usaha dengan berbagai resikonya.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Prof. Edy Suandi Hamid menyebut bahwa ilmu yang di dapatkan secara hardskill masih kurang cukup untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mendatang.
“… keharusan bagi para sarjana untuk memposisikan diri sebagai sarjana yang mampu berpikir intelektual dengan baik, Berani dalam menyongsong dunia kerja berlandaskan pada bekal keterampilan yang telah diperoleh selama duduk di bangku kuliah,” kata Edy saat Wisuda di STIAMI 23/12.
Jumlah pengusaha di Indonesia sangatlah sedikit, padahal menurutnya pengusaha sangat berperan besar bagi negara.
“Menjadi pengusaha merupakan bentuk kontribusi nyata bagi bangsa Indonesia mengingat sejauh ini jumlah pengusaha atau entrepreneur masih sangat sedikit. Pada 2013 jumlah wirausaha di Indonesia hanya 570.339 orang atau 0,24 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 250 juta,” tambahnya.
Dengan mengacu pada negara-negara maju, mereka telah lebih dari dua persen memiliki pengusaha.
“Malaysia dan Singapura jumlah pengusahanya telah mencapai di atas dua persen.” pungkasnya.
Dengan mengandalkan ijazah yang diterima dan mulai mencari kerja sudah tertanam jauh di masyarakat Indonesia selama ini. Jika ini terus berlanjut, jumlah pengusaha semakin sedikit, otomatis lapangan kerja semakin sempit. Tak ayal mimpi buruk di masa depan adalah jumlah pengangguran yang akan meledak.
Memang menjadi pengusahan bukanlah sebuah hal yang mudah. Akan tetapi dengan selalu mengasah softskill yang dipadukan dengan hardskill, kita optimis bahwa sebenarnya Indonesia bisa jauh lebih maju lagi.