Sumber : Tribunnews, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak telah menerapkan Pajak Penghasilan (PPh) final kepada para pengusaha kecil dan menengah sebesar 1 persen dari omzet bulanan.
Peraturan yang berlaku sejak Juli 2013 ini menyasar pengusaha UKM beromzet hingga maksimal Rp 4,8 miliar setahun dan memenuhi syarat tertentu, antara lain tempat usaha permanen.
Pengusaha UKM harus menyetor sendiri pembayaran pajak ke rekening negara setiap bulan. Sebab ketentuan ini bersifat self assesment alias kesadaran pengusaha sendiri. Nah, di musim laporan Surat Pemberitahuan Pajak bulan Maret ini, pengusaha UKM harus melaporkan pembayaran pajak yang telah mereka bayar.
Sejumlah pengusaha UKM merasa kewajiban ini membuat mereka pusing tujuh keliling. Sebab beban usaha mereka meningkat. “Sudah ada pajak, ada kenaikan upah buruh dan tarif listrik,” kata Dwita Roesmika pemilik toko oleh-oleh Cak Cuk Surabaya.
Semua pungutan itu, termasuk pajak, laba usaha Dwita tergerus sampai 20 persen. Dalam sebulan Dwita bisa mengantongi omzet Rp 300 juta, dengan laba bersih sekitar 30 persen-40 persen dari omzet. Hingga kini, Dwika belum bisa melakukan apapun untuk mengimbangi penurunan laba tersebut.
Opsi menaikkan harga jual belum bisa dilakukan karena takut konsumennya kecewa. Mungkin Dwika akan menekan biaya produksi. “Paling pas menaikkan harga saat mau Lebaran,” katanya.
Dwika menilai aturan tentang perpajakan untuk UKM itu belum jelas karena tanpa sosialisasi. Tapi jika tidak membayar pajak, Dwika ngeri mendapat sanksi. “Saya hanya pasrah,” ujarnya.
Keberatan yang sama juga disampaikan oleh Eko Trusulo, pemilik PT Bahana Unindo Teknik di Bekasi, Jawa Barat. Perusahaan ini memproduksi komponen berbagai otomotif. Menurut Eko, pungutan pajak 1 persen itu memberatkan. Terlebih ia harus membayar langsung dan melaporkan melalui surat pemberitahuan (SPT) bukti pembayaran pajak tersebut.
Untuk menekan kerugian dari kenaikan pajak ini, Eko memilih menggenjot produksi dari tadinya 400.000 komponen mobil menjadi 500.000 komponen setiap bulan. Menurutnya, itu belum bisa mengompensasikan penurunan laba bersih yang didapatnya. Soalnya selain pajak, ia juga harus membayar upah buruh lebih mahal dan kenaikan tarif listrik.
Khusus tarif listrik, ia tak habis pikir kenapa terus naik. Eko berharap, pemerintah menunda rencana kenaikan tarif listrik golongan industri pada Mei 2014 agar diberlakukan secara bertahap mulai 2015. “Supaya tidak membebani pendapatan kami,” ujar Eko.
Suparno, pemilik waralaba Ayam Lepaas juga keberatan. Sebab, selain pungutan pajak 1 persen dari pusat, ada juga pungutan pajak dari pemerintah daerah. Ia berharap, pungutan pajak itu cukup dari satu pintu saja. “Karena selain memberatkan, pungutan ganda itu juga membuat para pengusaha bingung,” jelasnya.
Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia, Levita Supit bilang, pengusaha UMKM yang paling terpukul adalah sektor usaha yang memiliki margin bersih paling kecil. Misalnya, pengusaha ritel yang mengambil margin bersih sekitar 3 persen-4 persen dari omzet. Kini, pengusaha golongan ini hanya bisa menikmati margin bersih kurang dari 3 persen gara-gara pajak memungut 1 persen dari omzet.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Kismantoro Petrus mengklaim, tidak semua pengusaha UMKM terbebani pajak 1 persen dari omzet. Buktinya, kata dia, kepatuhan pajak di kalangan pengusaha UMKM cukup tinggi. “Tapi memang belum semua melakukan karena ada juga yang belum tahu,” ujar Kismantoro.(Tri Sulistiowati, Pratama Guitarra, Kornelis Pandu Wicaksono)