Temanpntar.com – Hari minggu yang lalu saya, istri dan anak-anakku yang kecil menjemput kakaknya yang sedang ada acara siaga di Bumi Perkemahan Cibubur. Acaranya sendiri cuman setengah hari, berangkat pagi dan pulang menjelang siang atau jam 12-an.
Seperti biasa pula dalam acara-acara seperti itu akan di hadiri pula oleh para penggembira pencari laba alias penjual makanan, minuman atau mainan-mainan.
‘Nah ini dia’ begitu barang-kali yang terbersik dalam benak anak-ku yang kecil, ada abang-abang penjual mainan. Penjual mainan ini hanya membawa dagangannya dengan di bopong kesana-kemari. Dalam barang dagangannya sudah pasti ada beberapa macam mainan yang dicantolkan di media bopongannya tersebut.
Mainan-mainan tersebut barang tentu mengundang anak-anak kecil untuk mendekat dan ingin memilikinya. Mainan-mainannya menarik baik dari segi bungkus maupun modelnya. Modelnya seringkali mengikuti apa yang ngetrend di dalam film anak-anak.
Dari mana lagi kalau mainan-mainan tersebut tidak dari Negara tirai bambu alias China. Di labelnya tertulis jelas ‘Made In China’. Begitu kita membaca dimana barang itu dibuat pikiran para pembeli pun sudah melayang jauh dan menerka pasti harganya hak mahal-mahal amat. Apalagi hanya di jual oleh abang-abang. Harganya pasti sangat terjangkau.
Dan benar setelah anakku men-scanning mainan di cantolan-cantolan itu segera anakku pun menunjuknya dan bilang ke saya ‘boleh ngga Yah aku beli mainan itu’ dan pertanyaan standard saya ‘mahal ngga?’ dan segera dia akan nanya ke abang-abangnya ‘berapa bang yang itu?’ tanya anakku lagi.
Dan abangnya pun segera dengan cekatan mengasih tahu harganya ke kita. Mulailah harga tawar menawar untuk barang itu. Katakanlah mainan itu ditawarkan dengan harga Rp 15Ribu langsung secara reflek jurus tawar 50% pun keluar dan dibalas sama abang-abangnya modal belinya saja Rp 8Ribu pak begitu dia mempertahankan harganya. Dan ngga kalah cepatnya saya pun langsung bilang Rp 10Ribu ya, wah belum bisa pak. Ya kalau boleh segitu kalau ngga ya sudah jawab saya, eeee ternyata kalau ayah tahu ngga mau beliin jika harganya tidak 10Ribu anakku masih tetap merengek agar tetap dibelikan. Nah momen itu yang ditunggu-tunggu penjual untuk tetap bertahan pada harganya. Tapi karena saya pun mendesak si penjual maka jadilah harga Rp 10Ribu dia lepas.
Sebenarnya dalam benak saya begitu melihat barang mainan yang dibeli tadi juga sempat mikir. Bagaimana yang barang-barang mainan begini bisa begitu murah ya? padahal dari segi model cukup bagus dan kalau digunakan juga cukup menarik. Tapi kalau dari segi bahan memang sangat terlihat ringkih dan asal-asalan. Apakah si produsen China ngga rugi ya? untuk kirim ke Indonesia saja berapa? untuk biaya pembuatannya berapa? Sampai ke distributor di Indonesia berapa? sampai ke abang-abang berapa?
Tapi sepertinya memang ada trik dagang yang mereka mainkan. Terutama dalam hal mainan ini kalau menurut saya memang sengaja di buat tidak perlu berbahan yang bagus dan awet kalau bisa sehari di pakaipun sudah langsung rusak. Padahal si anak belum sempat meng-eksplor mainan tersebut sampai tuntas tapi dalam waktu yang singkat sudah rusak. Alhasil anak akan tetap penasaran dengan mainan itu dan dampak spekologi-nya anak pasti akan minta mainan lagi. Dengan minta lagi berarti orang tuanya akan berusa membelikan lagi dan pasti yang dicari juga yang murah-murah lagi.
Dampak itu kalau hanya terjadi pada sebagian kecil atau satu dua anak tidak akan berdampak banyak pada produsen barang mainan, tapi kalau dampak itu diciptakan untuk ribuan anak maka proses pembuatan mainan alias permintaan mainan di pasar akan senantiasa tinggi. Itu artinya Produsen dalam kesehariannya akan terus dan terus tetap membuat mainan tanpa takut kehilangan pasar karena memang permintaan akan selalu tinggi.
Tapi ya itu tadi jangan tanya mutunya terhadap barang-barang seperti itu ; makanya mutu terserah tapi harganya murah dan laku dan tetap dicari. Memang benar-benar aneh orang itu ya.