Kelas menengah Indonesia sedang diuji kejujurannya dalam membayar pajak. Benarkah uang tidak mengenal nasionalisme?
Seperti dikutip dari laman JPNN terkait kasus pajak, kini giliran nasionalisme pengusaha besar dipertanyakan. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar berharap kepada semua pihak menjaga Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa – berharap tidak ada pihak-pihak yang mencederai keberagaman.
Dia berharap tidak ada lagi pihak-pihak yang berusaha mencederai keberagaman.
Dahnil mengacu pada kasus Ahok yang belakangan menjadi sorotan.
”Kasus Ahok bisa diambil hikmahnya bagi para pejabat publik. Sekarang sudah clear semua. Ahok sudah tersangka, lalu apa hikmahnya? Hikmahnya yaitu sebagai pejabat gak boleh bicara ugal-ugalan,” ujar Dahnil di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Kamis kemarin (17/11).
Dahnil juga mengimbau kepada seluruh pejabat publik agar kejadian yang menimpa Ahok dijadikan pelajaran bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dia menunjuk kasus testimoni taipan Sukanto Tanoto dalam wawancara di sebuah stasiun televisi Tiongkok yang menjadi viral di media sosial YouTube yang berjudul “RGE Chairman Sukanto Tanoto shares his story”.
Menurutnya, itu melukai hati rakyat Indonesia. Di sana Sukanto mengatakan Indonesia sebagai “Ayah Angkat” sedangkan Tiongkok adalah “Ayah Kandung”.
”Kalau nasionalisme atau tidak tentu publik bisa menilai. Ketika Sukanto Tanoto menyebutkan ayah kandungnya Tiongkok, ayah angkatnya Indonesia, harusnya publik sudah tahu. Artinya keberpihakannya pasti lebih besar kepada ayah kandungnya (Tiongkok) dari pada ke ayah angkatnya (Indonesia),” jelas Dahnil.
Untuk itu, lanjut Dahnil, guna menguji nasionalisme Sukanto Tanoto, pemerintah harus tegas dan mendalami kewajiban pembayaran pajak perusahaan milik Sukanto.
”Jangan sampai ketidaknasionalismenya terhadap Indonesia kemudian dikonversi juga oleh keringanan-keringanan pajak dan kelonggaran perizinan. Itu penting,” jelasnya.
Dahnil menambahkan, jika ada perusahaan milik Sukanto tersangkut kasus pajak atau melanggar perizinan, aparatur negara, kepolisian, kejaksaan harus menindak secara tegas sesuai ketentuan yang berlaku.
”Pemerintah harus ungkap semua tunggakan pajak dan pelanggaran yang dilakukan perusahaan yang dimiliki Sukanto Tanoto. Kalau tidak akan banyak orang dari luar yang melakukan hal serupa. Saya kira langkah yang moderat adalah proses hukum. Kalau dalam proses hukum ada indikasi korupsi maka ada klausul hukum yang menyatakan asetnya bisa disita atau proses perizinannya bisa dicabut,” pungkas Dahnil.
Sebagaimana diketahui, saat ini, kerajaan bisnis Sukanto tengah dalam sorotan.
Kasus penggelapan pajak PT Asian Agri sejak tahun 2007 hingga saat ini belum juga tuntas.
Dalam kasus ini baru satu yang dijatuhi hukuman pidana, yakni Tax Manager AAG, Suwir Laut yang divonis 2 tahun penjara dan dengan percobaan tiga tahun dan mengharuskan korporasi Asian Agri membayar denda Rp 2,52 triliun.
Sedangkan, delapan tersangka lainnya Eddy, Linda, Direktur Asian Agri Tio Bio Kok alias Kevin Tio, Willihar Tamba, Laksamana Adiyaksa dan Semion Tarigan, serta Direktur PT Tunggal Yunus Estate dan PT Mitra Unggul Pusaka, Andrian masih bebas.
Kemudian, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) perusahan kertas terbesar di Asia miliknya juga disebut masih menunggak Pajak Penerangan Lampu Jalan (PPJ) mencapai Rp31 miliar.
Tagihan kepada Pemkab Pelalawan, Riau tersebut terungkap saat Rapat Paripurna Laporan Pertanggungjawaban (LPj) Pelaksanaan APBD Tahun anggaran 2015, Kamis (28/7) di Gedung DPRD Pelalawan lalu. (Flo – JPNN)