Indonesia sebagai negara maritim dimana mayoritan penduduknya adalah seorang petani sangat disayangkan jika mereka terabaikan oleh pemerintah. Pembangunan di kota yang begitu pesat sangat jauh dibandingkan dengan fasilitas yang ada di persawahan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat, di musim kemarau para petani beralih profesi untuk menyambung hidupnya.
Lahan pertanian di Desa setempat sudah tak mungkin lagi untuk diharapkan. Dikutip dari Gala media news :
“Sekarang petani di sini ada yang menjadi pedagang untuk bisa tetap mendapatkan penghasilan,” kata Yadi, seorang petani dari Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Minggu (20/9/2015).
Ia mengatakan, sudah lebih dari sebulan tidak bertani, melainkan berjualan ubi, singkong atau apa saja yang dapat dijual dan menghasilkan uang.
Ia mengungkapkan, lahan pertanian di desanya sudah sulit untuk ditanami karena tidak ada air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bertani. “Lahan di sini sudah tidak bisa lagi bercocok tanam karena tidak ada air,” kata petani sayuran itu.
Petani lainnya, Dayat (60) menyatakan, sama tidak dapat menggarap lahan pertaniannya karena kesulitan mendapatkan air pada musim kemarau.
Ia mengaku, sementara waktu beralih profesi menjadi buruh bangunan sejak dua bulan lalu. “Daripada nganggur, tidak bisa bertani, lebih baik cari penghasilan lain, jadi buruh bangunan,” kataya.
Penghasilan menjadi buruh bangunan, kata Dayat, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. “Lumayan dapat uang dari buruh nembok, atau cat rumah,” katanya.
Ia menambahkan, musim kemarau yang sudah berlangsung cukup lama itu membuat areal pertaniannya sulit mendapatkan pasokan air.
Jika dipaksakan untuk bertani, Dayat bersama petani lainnya khawatir akan mengalami kerugian.
“Sudah susah mendapatkan pasokan air yang cukup, dipaksakan untuk menanam sayuran, resikonya terlalu besar,” katanya.